Agama dan Akal Part II

Agama adalah akal, tidaklah beragama orang yang tidak berakal. Pula keagamaan seseorang tidaklah sempurna kecuali kemampuan berpikirnya sempurna”.

Kemajuan ilmu pengetahuan hingga mencapai perkembangan yang luar biasa seperti sekarang ini. Sebagaimana dikemukakan Quraisy Syihab (1999 : 42), tidak hanya dinilai dengan apa yang telah dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi juga diukur dengan wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu. Artinya, kemajuan ilmu pengetahuan memang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan akal pikiran manusia. Dengan demikian, mendorong terciptanya iklim berpikir yang kondusif bagi kemajuan ilmu pengetahuan merupakan sebuah keniscayaan.

Kebebasan berpikir, yang tercermin dalam kebebasan berpendapat, baik dengan lisan maupun tulisan, kebebasan menulis, berbicara, menggali sendi-sendi alam dan sebagainya, oleh karenanya, perlu memperoleh tempat yang layak dalam kehidupan.

Bahkan Nabi Muhammad SAW. selama periode Makkah, mempergunakan jalan pemikiran untuk meyakinkan pengikutnya yang baru dalam rangka mengajarkan keadilan, kebersamaan dan persaudaraan kaum pengembara. Dia ingin mengubah cara berpikir masyarakat Mekkah yang masih tradisional-yang dengan bangganya mereka mengatakan, “Kami telah mendapatkan karya nenek moyang kami dan kami mengikuti langkah-langkah mereka”.

Tetapi nampaknya, apa yang dilakukan oleh Muhammad SAW. tidak segera mendapatkan hasil yang memuaskan. Mengapa ? Pada masa itu, kata Fuad Baali dan Ali Wardi (1989 : 99, puisi dan retorika tidak boleh diabaikan. Puisi telah berakar dalam kehidupan orang-orang Arab. Puisi tersebut telah membentuk pemikiran dan menentukan watak mereka. Lebih mudah meyakinkan orang-orang Arab dengan sebaris puisi singkat ketimbang dengan argumentasi yang panjang. Akibatnya, apa yang disampaikan Muhammad SAW. tidak dipahami dengan mudah tanpa mewarnai argumentasi-argumentasi dakwahnya dengan puisi dan retorika.

Puisi Arab lebih dipengaruhi oleh unsur emosional ketimbang akal. Perjuangan hebat untuk mempertahankan diri di antara suku yang saling bermusuhan telah memperkuat aspek emosional bangsa Arab yang dikenal mudah marah, berbangga dan hormat. Menghadapi manusia yang bertipe emosional semacam ini, Nabi Muhammad SAW. melancarkan dakwahnya. Beliau dikenal mempunyai dorongan berpikir sendiri dan menggunakan akal bebas. Pernah suatu saat dia bersabda :”Agama adalah akal, tidaklah beragama orang yang tidak berakal”. “keagamaan seseorang tidaklah sempurna kecuali kemampuan berpikirnya sempurna”.

Meskipun demikian, tidak serta merta ia dapat mempengaruhi pikiran orag-orang Arab dan memperoleh pengikut yang banyak. Setelah selama tiga belas tahun berdakwah dengan penuh semangat, hanya seorang pengembara (Abu Dzar) memasuki agamanya. Namun, ketika Islam mencapai kemenangan bersama pemeluknya (setelah keberhasilannya di Madinah), orang-orang Mekkah berduyun-duyun masuk Islam. Semua itu menjadi bukti bahwa sesuatu yang dianggap tidak logis selama periode Mekkah, menjadi logis.

Satu aspek yang melekat pada kebebasan adalah tanggung jawab. Keduanya merupakan dua sisi mata uang yang sama. Tidak bisa dibenarkan seseorang yang mengaku dirinya bebas, tetapi tidak mau bertanggung jawab terhadap kebebasannya itu. Karena tanggung jawab merupakan konsekwensi dari perbuatan yang dilakukan seseorang. Orang lain bisa saja mengambil tanggung jawab itu, tetapi hati nurani si pelaku tidak bisa dibohongi bahwa tanggung jawab yang bersifat pribadi tidak bisa digantikan oleh siapapun. Ia, sejauh jujur terhadap dirinya, akan menyadari bahwa seharusnya ia sendirilah yang harus bertanggung jawab atas segenap perbuatannya itu. (Zainal Abidin, 2000 : 133) Masalah kebebasan dan tanggung jawab adlah masalah yang mendasar. Sumber utama eksistensi manusia sesungguhnya terletak pada kedua masalah itu.

Kebebasan berpikir juga menuntut tanggung jawab. Kebebasan berpikir dengan beragam bentuknya yang kemudian menghasilkan pemikiran, hendaknya dipergunakan untuk mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) hidup manusia, bukan sebaliknya, merusak tatanan hidupnya sendiri. Pemikiran manusia boleh mengembara ke seluruh penjuru alam, tetapi ia tetap tidak bisa lepas dari eksistensinya sebagai khlifah Allah di bumi. Dengan demikian, maka pemikiran manusia harus digunakan dalam kerangka untuk menciptakan kesejahteraan, kebahagiaan, kedamaian, keadilan dan nila-nilai universal yang lain. Pemikiran bukan untuk menghasut, mengadu domba, provokasi, beradu konflik, perang, dan berbagai kejahatan lainnya. Pemikiran bebas, kata Ibnu Khaldun, bagaimana tidak perlu mengarah pada disintegrasi social. Inilah bentuk tanggung jawab itu. Wallahu a’lam (Kang Min)