Dialektika Agama dan Manusia Part II

Dapatkah manusia melepas diri dari agama ? atau adakah alternatif lain yang dapat menggantikannya ? Pandangan seseorang terhadap agama ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama itu sendiri. Ketika pengaruh gereja di Eropa menindas para ilmuwan akibat penemuan mereka dianggapnya bertentangan dengan kitab suci, para ilmuwan pada akhirnya menjauhi agama bahkan meninggalkannya


Agama Islam dalam Kehidupan Modern
Berbicara tentang Agama Islam dalam kehidupan modern, terlebih dahulu perlu digaris bawahi keharusan adanya kemampuan untuk mendefinisikan agama, apalagi di dunia ini kita temukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan seseorang terhadap agama ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama itu sendiri. Ketika pengaruh gereja di Eropa menindas para ilmuwan akibat penemuan mereka dianggapnya bertentangan dengan kitab suci, para ilmuwan pada akhirnya menjauhi agama bahkan meninggalkannya

Berpijak dari kasus tersebut maka muncul pertanyaan “Agama”, masihkah relevan dengan kehidupan masa kini ? Sebelum menjawab perlu terlebih dahulu dijawab : “Manusia”, dapatkah melepas diri dari agama ? atau adakah alternatif lain yang dapat menggantikannya ? Dalam hal ini diperlukan sedikit melebar di dalam memberikan ruang jawaban, karena harus menelusuri agama itu apa, dan macamnya kaya apa. Pakar ilmuwan mengatakan bahwa ada dua jenis agama :

Jenis agama yang pertama adalah “wad’un basyariyun” (produk manusia) yaitu penjelmaan cara berpikir dalam berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Kepercayaan animism, dinamismus, naturismus, speritismus, bahkan agama Shinto dan Hindu pun masuk ke dalam kategori ini.

Jenis agama yang kedua adalah “wad’un ilahiyun” (produk Tuhan) untuk manusia diturunkan agama itu melalui prosedur wahyu kepada Rosul (pesuruh yang ditunjuk-Nya) dan disampaikan kepada umat manusia. Agama jenis ini diistilahkan “Al-dinu-Asl-samawi” (agama dari langit). Dalam pandangan Islam keberagamaan adalah “fithrah” (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya), ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Rum 30 :

“Fithrah Allah yang menciptakan manusia atas fithrah itu

Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan meciptakan demikian karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Manusia adalah diantara makhluk yang diciptakan di atas bumi bahkan satu-satunya makhluk yang sanggup memikul amanah Allah sebagai khalifah di atas bumi. Tatanan kehidupannya disertai standar keagamaan, kendati bimbingan dari Khalik dalam rangka penataan kehidupan yang “takhify”. Artinya makhluk yang siap diperintah dan dilarang oleh Khaliqnya untuk kebaikan hidupnya.

Ketika terjadi konfrontasi antara ilmuwan di Eropa dengan Gereja, ilmuwan meninggalkan agama, tetapi tidak lama kemudian mereka sadar akan kebutuhan kepada pegangan yang pasti kemudian mereka menjadikan “hati nurani” sehingga alternative pengganti agama. Namun tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa alternatif ini sangat labil karena yang dinamai “nuarani” terbentuk oleh lingkungan dan latar belakang dan latar belakang pendidikan, sehingga nurani si fulan dapat berbeda dengan si fulan yang lain, maka tolok ukur yang pasti menjadi sangat rancu. Kemudian mereka beralih ke “falsafat eksistensialisme” yang mempersilahkan manusia melakukan apa saja yang dianggapnya baik atau menyenangkan tanpa mempedulikan hirarchi nilai. Namun itu semua tetap tidak dapat menjadikan agama tergusur karena seperti dikemukakan di atas bahwa ia tetap ada dalam diri manusia, walaupun keberadaannya kemudian tidak diakui dan dilupakan oleh sejumlah manusia yang sok kreatif.

William James menegaskan bahwa “Selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap” (dalam Islam disebut maqam “rajak dan khauf”) maka selama itu pula ia beragama kendati memastikan dirinya berhubungan dengan Tuhan”. Padahal perasaan cemas dan mengharap tidak mungkin terlepas dari manusia, kalau begitu berarti manusia tidak mungkin ter-elakkan dari kebutuhan beragama.

Kedudukan dan peranan agama dalam kehidupan ini, adalah di atas kedudukan dan perasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, Mengapa ? itu di karenakan, Ilmu mempercepat sampai tujuan, agama menentukan arah yang dituju. Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, agama menyesuaikan dengan jati dirinya. Ilmu sebagai hiasan lahir dan agama sebagai hiasan bathin. Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, agama meberikan harapan dan dorongan bagi jiwa. Ilmu menjawab pertanyaan dimulai dengan “bagaimana” agama menjawab dimulai dengan “mengapa”. Ilmu sering mengeruhkan pikiran pemiliknya, agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya.

Sehubungan manusia adalah makhluk takhlifi (yang dituntut untuk mengerjakan “sesuatu”, atau meninggalkan “sesuatu”, atau membolehkan mereka untuk mengerjakan dan meninggalkan “sesuatu tersebut” ) dia terdiri dari akal, jiwa dan jasmani. Akal terbatas pada wilayahnya karena semua persoalan tidak bisa diselesaikan olehnya. Seperti karya seni tidak dapat dinilai semata-mata oleh akal karena yang lebih berperan adalah jiwa. Dengan demikian keliru apabila seseorang hanya mengandalkan akal semata.

Kini manusia telah mampu merekayasa genitika dengan segala macam corak dan jenisnya. Apakah kemudian dilanjutkan sehingga manusia meningkat sebagai Khalik menghasilkan makhluk hidup yang menjadi tuan bagi penciptanya sendiri ? Dan yang seperti itu layak atau tidak ? Yang dapat menjawabnya adalah nilai-nilai agama bukan seni dan bukan pula filsafat. Bila manusia masih ingin tetap jadi manusia maka dituntut untuk menyadari bahwa tidak aka nada alternatif lain yang dapat menggantikan agama. Seorang yang bergama akan selalu berusaha mencari dan mendapatkan yang benar yang baik dan yang indah.

  1. Mencari yang benar menghasilkan ilmu
  2. Mencari yang baik menghasilkan akhlak
  3. Mencari yang indah menghasilkan seni

Kalau begitu maka “agama” bukan saja merupakan kebutuhan manusia tetapi juga selalu relevan dengan kehidupannya. Adakah manusia yang tidak mendambakan kebenaran, keindahan dan kebaikan ? Islam adalah agama samawi yang diturunkan dan dimandatkan Allah swt kepada baginda Nabi saw. untuk didakwahkan kepada umat manusia dengan tiga sistem :

  1. Aqwaliyah artinya melalui sebuah perkataan.
  2. Af’aliyah artinya melalui sebuah perbuatan.
  3. Taqririah artinya melalui sebuah persetujuan.

Dari tiga sistem inilah yang melahirkan hukum syari’ah, meliputi wajib, sunah, haram, makhruh, dan mubah. Dan Allah swt. menjadikan diri Muhammad sebagi teladan yang baik. Keteladanan tersebut di samping sebagai tuntunan umatnya adalah konsumsi sifat terpuji yang seharusnya dimiliki oleh umat manusia. Keteladanan Muhammad tercantum dalam surat Al-Ahzabayat 21,“Sesungguhnya terdapat dalam diri Rosul teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan ridla Allah dan pahala di hari kemudian.”

Syekh Zamakhasari dalam kitab tafsirnya mengatakan “ada dua kemungkinan” tentang arti “uswatun” (keteladanan) itu :

Pertama, kepribadian beliau secara total adalah keteladanan.
Kedua, dalam kepribadian beliau terdapat hal-hal yang patut diteladani.

Dalam kacamata agama bahwa Nabi Muhammad saw. itu mendapat “Ishmah” (pemeliharaan) dari Allah swt. dalam segala sesuatu. Oleh sebab itu segala apa yang bersumber dari beliau pasti benar. Adapun dakwah Islamiyah yang dilakukan beliau di tengah-tengah kaum jahiliyah adalah :

  1. Membatalkan Tuhan selain Allah swt
  2. Menyalin akhlak bahimah (kebinatangan) menjadi akhlak yang karimah (yang mulia)
  3. Melepaskan semua konsep akal pikiran murni, menuju konsep Qur’an dan Hadits

Dalam konteks ini Abbas Mamud Al-Aqqad seorang pakar muslim kontemporer dalam kitabnya Abqarriyah menguraikan bahwa manusia dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe : pemkir, pekerja, seniman dan yang larut jiwanya tekun beribadah. Mustahil keempat tipe tersebut bergabung dalam diri seseorang bahkan jarang ditemukan satu pribadi yang berkumpul dalam dirinya dalam tingkat yang tinggi, dua dari keempat tipe tersebut. Akan tetapi orang yang mempelajari pribadi Muhammad saw. pasti akan menemukan bahwa keempatnya bergabung dalam peringkatnya yang tertinggi pada diri beliau padahal banyak faktor negative yang menyertai perkembangan dan pertumbuhannya. Berkumpulnya empat tipe manusia dalam kepribadian Rosul dimaksudkan agar seluruh manusia dapat meneladani sifat-sifat terpuji pada pribadi ini. Muhammad saw lahir di Makkah dalam keadaan yatim dan dibesarkan dalam keadaan miskin. Tidak belajar pada suatu satuan pendidikan bahkan seorang yang “ummi” (tidak bisa baca dan tulis). Hidup dalam lingkungan yang terbelakang. Namun semua faktor itu tidak membawa dampak negatif sedikitpun pada keutuhan pribadi manusia agung itu. (Yangkung)