Di Mimbar Ini

Puncak perayaan bulan Rajab di Desa Gumuksari tadi malam benar-benar semarak. Seluruh warga desa tumplek-blek di lapangan. Anak-anak, pemuda dan orang tua berjejal-jejal memenuhi seluruh sudut-sudut tempat digelarnya peringatan Rajab. Peringatan kali ini selain mendatangkan da’i kondang dari luar kota, juga dimeriahkan oleh pentas musik sholawat dari orkes melayu “Sri Rejekil”. Inilah peringatan yang paling meriah, paling wah yang pernah dilakukan di Gumuksari.

Saking meriahnya, puncak peringatan Rajab ini menarik kedatangan orang-orang dari luar daerah setempat. Mereka yang datang ada yang benar-benar ingin mengikuti dan menikmati ungkapan cinta terhadap agama, ada pula yang ingin mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan ekonomi. Sebut saja misalnya, para pedagang berceceran, mulai dari penjual makanan, minuman sampai penjual lotre gelang. Tak ketinggalan petugas Ji-i, klethek dan copet. Semua menjadi satu dalam kemeriahan peringatan Rajab di Desa Gumuksari.

Tertulis di daftar undangan, para tokoh masyarakat, baik tokoh struktural maupun tokoh kultural Desa Gumuksari. Ketua BPD dan anggotanya, Pak lurah, Carik, dan Kaur-Kaur datang semua, Pak Kyai, Pak Haji serta ustadz-ustadz, semua berjajar rapi di kursi paling depan. Dengan khidmat diikutinya acara perayaan Rajab ini. Sekali-kali mereka berbincang satu dengan yang lain, kadang tertawa bersama ketika ada ungkapan dari sang da’i yang menggelitik telinga.

“... Tahukah bapak-bapak, tempat yang paling tidak enak di penjuru dunia ini ?” Sang da’i mencoba berdialog dengan sami’in.
“... mboten”, jawab sami’in sebagaimana biasanya.
“... Tempat yang paling tidak enak itu, adalah tempat dimana saya sedang berdiri saat ini”, Pak Da’i memberikan jawaban.

Mendengar keterangan itu sebagian orang tersenyum sebagian yang lain bengong.

“... Ya, Mimbar..!, itu tempat yang paling tidak enak”, lanjut sang da’i.

Senyum orang-orang menjadi kecut, yang bengong tambah melompong. Sebagian yang duduk di kursi paling depan menengadahkan mukanya menatap sang da’i, mereka tampak ekstra memperhatikan.

“... Ratusan pasang mata menatap kearah ini, ratusan pikiran tercurah disini, dan ratusan pengharapan menggelayut untuk selesai di tempat ini, di mimbar”, sejenak ia berhenti.
“... Sementara, di Mimbar hanya ada sepasang mata, satu pikiran, satu harapan, milik siapa yang menempatinya. Karena di Mimbar hanya membutuhkan kepekaan dan penuh pengertian. Di Mimbar tidak bisa semau gue. Di Mimbar penuh kebebasan, karena hanya dia sendiri, tetapi sesak oleh pandangan, pikiran dan tuntutan. Di Mimbar seseorang harus bertanggung jawab terhadap ratusan pasang mata, ratusan pikiran dan ratusan pengharapan. Pula di Mimbar, seseorang harus bertanggung jawab kepada Tuhan ‘azza wa jalla”. Lanjutnya. Semua hadirin tertunduk mukanya, di kursi depan tak ada yang menengadahkan kepala, di baris belakang hilang canda tawa, hingga acara ditutup Do’a. ( Kangminto )