Agama dan Akal Part I

Di dalam Al-Qur’an sering kita jumpai, firman-firman Allah yang melontarkan pertanyaan menggelitik dalam sebagian akhir ayatnya. Misalnya, Apakah mereka tidak melihat ? Apakah mereka tidak mengingat ? apakah mereka tidak berpikir ? Apakah mereka tidak berakal ? Apakah mereka tidak bertadabbur ? dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis. Sedemikian pentingkah penggunaan akal dalam beragama, sehingga seringkali Allah membrikan tekanan pada perbuatan itu? Bukankah esensi agama hanyalah Iman semata.

Aristoteles pernah mengatakan bahwa manusia adalah binatang berakal budi. Bukti yang ia kemukakan adalah sebagian orang sanggup menjumlah angka-angka. Menurutnya, ada tiga macam jiwa, pertama, jiwa tumbuhan, yang dimiliki oleh semua benda hidup, tanaman maupun hewan. Jiwa ini hanya berkepentingan dengan makan dan pertumbuhan. Kedua, jiwa hewan, yang mengandung daya gerak, dan dimiliki oleh manusia dan hewan yang lebih rendah. Ketiga, jiwa rasional/intelek, yang memungkinkan manusia memperoleh kebijaksanaan. Jiwa yang ketiga inilah yang membedakan manusia dengan hewan, tumbuhan dan makhluk-makhluk lain, sehingga ia dijuluki oleh Aristoteles sebagai binatang berakal budi.

Tetapi, bagi filosof Inggris, Bertrand Russell, argumen dari pandangan Aristoteles tersebut nampaknya tidak kuat lagi. Karena menurut Aristoteles, intelektualitas/rasionalitas ditunjukkan dengan ukuran yang sangat sederhana, yakni penguasaan ilmu hitung. Padahal saat ini, kemampuan menghitung tidak lagi dijadikan sebagai satu-satunya ukuran intelektualitas seseorang. Banyak aspek yang kemudian berkembang dan memungkinkan perkembangan intelektualisasi manusia tidak sekedar dilihat dari kepandaiannya dalam berhitung. (1988 : 37)

Memang saat Aristoteles masih hidup kemampuan menghitung orang Yunani saat itu sangat buruk, metode perkalianpun kemudian menjadi sangat sulit. Sehingga perhitungan yang rumit hanya dapat dilakukan oleg orang-orang yang sangat pandai.

Akal, menurut Yusuf Musa (1988 : 57-58), adalah pemahaman, pemikiran pada hal-hal yang lahir dan batin. Akal adalah bimbingan yang menjelaskan perbedaan hidayat dengan kesehatan. Akal adalah suatu penglihatan batin yang menembus apa apa yang di belakang penglihatan lahir. Dan akal adalah suatu kenangan dan ingatan tentang masa lampau untuk masa kini, dan mengumpulkan apa yang telah lewat untuk apa yang ada sekarang serta memelihara, menyadari, memulai dan mengulanginya lagi.

Dengan kemampuan akalnya, manusia berpikir tentang segala hal, tentang kehidupan, dirinya, hewan, tumbuhan, norma, nilai, dan juga tentang dunia.Allah mendorong supaya manusia berpikir dan menyelidiki kebesaran dan kekuasaan ciptaan Allah. Berpikir dan mengingat Allah ketika berdiri, duduk dan dalam berbaring untuk mendapatkan ilmu dan hikmah. Firman Allah :

“Mengapa mereka tidak memperhatikan cinta bagaimana ia diciptakan, langit ditinggikan, gunung ditegakkan dan bagaimana bumi dikembangkan”. (Q.S. AlGhasyiah : 17-20).

Islam selalu menganjurkan pemeluknya untuk berpikir dan meneropong cakrawala langit dan bumi. Berpikir merupakan tugas akal dan dengan berpikir manusia dapat membedakan antara dirinya dengan binatangatau makhluk lainnya. Apabila fungsi akal itu tidak dapat dijalankan, berarti manusia telah kehilangan keistimewaannya untuk mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan hidupnya. (Sayyid Sabiq, 1981 : 131)

Sudah menjadi rahasia umum, bila berpikir merupakan salah satu kunci kemajuan umat manusia. Sehingga pembekuan akal dalam berbagai bentuknya merupakan penyebab utama mundurnya manusia. Islam sendiri diturunkan ke bumi oleh Allah untuk melepaskan belenggu-belenggu pengekangan terhadap akal yang sejak lama mengalami pembatasan dan pengebirian.

Kita tidak dilarang memikirkan segala sesuatu kecuali terhadap zat Allah, karena manusia tidak akan mampu menjangkaunya. Memang benar landasan akidah adalah pemikiran dan pengamatan. Karenanya dalam akidah harus disertai akal dan keyakinan, bukan taklid secara membabi buta terhadap keyakinan orang-orang terdahulu.

Al-Qur’an sangat menganjurkan manusia untuk berpikir dan menggunakan kemampuan nalarnya yang telah dikaruniakan Allah, membentuk iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran itu, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya.

Seringkali Al-Qur’an juga melontarkan pertanyaan menggelitik dalam sebagian akhir ayatnya. Misalnya, apakah mereka tidak berpikir ? Apakah mereka tidak berakal ? Apakah mereka tidak melihat ? Apakah mereka tidak bertadabbur ? Apakah mereka tidak mengingat ? dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis. Dengan demikian, maka sesungguhnya Islam sangat merangsang umatnya untuk selalu mengembangkan potensi berpikirnya.( Kang Min)