Berteman dengan Alam

Krisis lingkungan hidup seharusnya tidak dipahami sebagai keadaan alamiah terlebih akibat murka Tuhan, melainkan harus disadari sebagai akibat dari perilaku manusia yang secara terang-terangan melanggar hukum lingkungan.

Bencana alam, kata ini telah begitu akrab dengan keseharian kita. Banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan segala sesuatu yang terkait dengan krisis lingkungan hidup adalah serentelan fenomena yang membuat kita menjadi prihatin.

Apakah gerangan yang menjadi titik pangkal peristiwa itu terjadi. Jawaban terhadap pertanyaan ini tentu sangat beragam, tergantung dari sudut pandang apa yang digunakan. Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa peristiwa itu merupakan fenomena alam biasa yang bisa terjadi kapan dan dimana saja. Indonesia yang secara geografis memiliki banyak gunung, bukit, hutan, sungai dan potensi alam yang lain tentu sangat rentan terhadap terjadinya bencana alam. Berdasarkan pendapat ini, maka alam sendirilah sebenarnya yang menjadi penyebab utamanya. Atau dengan kata lain, semua peristiwa alam terjadi karena hukum alam memang demikian.

Ada pula pendapat, terutama dari sebagian masyarakat agama, bahwa berbagai krisis alam itu merupakan ujian, cobaan, bahkan murka atau kutukan Tuhan kepada manusia. Dengan demikian, mereka menimpakan atau segera mengembalikan semua permasalahan itu kepada Tuhan. Nampak bahwa Tuhan telah dituding sebagai yang paling bertanggung jawab terhadap peristiwa itu..

Sekilas, kedua pandangan tersebut tampak tidak ada persoalan. Tetapi sebenarnya menyimpan problem cukup serius. Hal itu terutama karena keduanya menafikan peran atau keterlibatan manusia sebagai “aktor” terjadinya berbagai peristiwa (baca:bencana) alam yang ada. Telah banyak fakta yang bisa membuktikan hal itu.

Bencana banjir misalnya, sering kali dipicu oleh perilaku manusia yang tidak memanfaatkan aliran air atau sungai dengan sebaik-baiknya. Sampah atau kotoran yang menumpuk di selokan-selokan atau sungai-sungai disamping menjadi sumber pencemaran air, juga rentan terhadap terjadinya banjir akibat tidak mampu menampung luapan air jika musim hujan tiba. Tengok saja Surabaya yang sering terkena banjir, sampah yang menggunung dengan bau yang menyengat hidung dan juga sungainya penuh sesak dengan tumpukan sampah. Begitu pula tanah longsor, tidak jarang disebabkan kelalaian manusia yang dengan sewenang-wenang menebang pohn di hutan atau ditempat-tempat lain tanpa memperdulikan efeknya. Padahal pohon-pohon itu bisa menjadi penampung air yang efektif. Sebut saja, beberapa daerah pegunungan di Tulungagung yang terkena longsor, barangkali telah menjadi indikasi yang cukup nyata. Apalagi kebakaran hutan, jelas banyak bukti tentang keterlibatan manusia dalam hal ini.

Oleh karena itu, perlu ada pergeseran pandangan, dimana banjir dan semua krisis lingkungan hidup tidak lagi dipahami sebagai peristiwa yang terjadi secara alamiah atau murka Tuhan, tetapi justru sebagai akibat dari perilaku manusia yang secara terang-terangan melanggar hukum lingkungan. Bukankah dengan tegas Allah telah mengisyaratkan bahwa kerusakan di darat dan di laut itu akibat ulah (tangan) manusia.

Isyarat Allah itu semakin tepat ketika sebagian paradigma sains (ilmu pengetahuan) justru tidak menunjukkan keramahannya terhadap alam. Hal ini, terutama jika dilacak secara historis, sebagaimana dikemukakan oleh Sukidi (Kompas, 6/11/2001), sekitar abad ke-17, khususnya sejak Francis Bacon, bagaimana tujuan sains justru digunakan untuk menguasai, mengendalikan dan bahkan menaklukkan alam. Dari sini akan terkuak, bagaimana pandangan Bacon terhadap alam, yang menurut dia, alam harus diburu dalam pengembaraannya, diikat dalam pelayanan dan dijadikan budak. Tujuan ilmuan, menurutnya mengambil rahasia alam secara paksa.

Bayangkan betapa kejamnya metodologi ilmiah yang dikembangkan Bacon. Baik ilmu pengetahuan maupun teknologi digunakan untuk tujuan-tujuan yang sama sekali anti lingkungan hidup. Begitu pandangan sains Descartes dan Newton, yang memandang alam sekedar sistem mekanis dengan diatur hukum matematis yang pasti. Hal inilah yang kemudian dijadikan pegangan ilmiah bagi manusia modern untuk menguasai, mengendalikan, menaklukkan dan bahkan mengeksploitasi alam.

Alam semesta merupakan ciptaan Allah SWT yang telah ditentukan ukuran dan hukum-hukumnya sebagai ayat (tanda-tanda) kebesaran-Nya. Sebagai ciptaan Allah, alam sesungguhnya berkedudukan sederajat dengan manusia. Namun manusia yang telah diberi predikat sebagai khalifah Allah di bumi memiliki tanggung jawab untuk memanfaatkan dengan sewajarnya, memelihara dan melestarikan alam beserta isinya. Jika alam dan manusia sederajat, mengapa sebagian manusia masih tetap menjadikan alam sebagai “budak”, bukan sebagai sahabat yang harus dicintai. Tidak cukupkah alam ini menjadi sasaran “keberingasan” manusia. Krisis lingkungan hidup seharusnya tidak dipahami sebagai keadaan alamiah terlebih akibat murka Tuhan, karena jika demikian, apakah tuhan kita yang maha pengasih dan penyayang,telah berganti segabai pemurka yang kejam ?.

Sampai disini, maka kita perlu melakukan koreksi terhadap diri kita sendiri, apakah kita telah betul-betul ramah terhadap alam lingkungan. Lebih jauh, kita juga perlu mempertanyakan kadar keimanan kita kepada Allah. Mengapa ? karena beriman itu sesungguhnya tidak sekedar menaruh keyakinan kita kepada Tuhan, tetapi juga mengimplemen-tasikan keyakinan itu kepada sikap yang ramah terhadap ciptaan-Nya, termasuk alam lingkungan. Wallahu A’lam (Kang Minto-eds)