Beno Bin Subono

Perbincangan dengan Pak Komar malam itu masih asyik dengan topik sekitar pembongkaran beberapa kuburan yang terletak di pinggir sungai.
Pasalnya, pihak pengairan berkehendak untuk membuat plengsengan di sepanjang tepi sungai, agar tanah-tanah di tepi sungai tidak tergerus oleh derasnya arus. Cerita mengenai pembongkaran itu sebenarnya biasa saja, yang membuat orang-orang di rumah Pak Komar dan di seluruh penjuru desa tak henti membicarakannya adalah peristiwa aneh yang terjadi saat pemindahan kubur Beno?

Beno bin Subono yang mati sejak lima belas tahun yang lalu, ketika kuburannya dibongkar, ules ( kain pembungkus mayat) belum rusak, ketika diangkat mayatnya masih utuh. Padahal beberapa kuburan di sekitarnya yang berusia lebih muda dari kubur Beno, tak tampak ada tanda-tanda pernah ada mayat disana, dan tak sedikit yang tinggal kerangkanya berserakan pun dengan posisi tak karuan, sepasang kakinya pindah di sebelah utara, sedangkan kepalanya disebelah selatan. Kejadian yang benar-benar aneh, apalagi bagi orang-orang yang hidup di jaman modern seperti saat ini.

Sebelum kematiannya, Beno adalah seorang buruh tani, pekerjaannya membantu pekerjaan para pemilik tanah yang kekurangan tenaga untuk mengolah sawah yang dimiliki. Dengan imbalan sekedarnya, Beno bekerja pada orang-orang yang membutuhkan tenaganya. Memperbaiki pematang, menjaga saluran air, bahkan mencangkul sawah yang luasnya jauh melebihi impiannya.

Setiap pagi sebelum matahari belum sempat muncul di ufuk timur, Beno telah memanggul cangkul Dan menyelipkan sabitnya dipinggang sambil membawa bungkusan entah apa isinya, menuju tempat tugas, disawah milik orang yang menyewanya dan baru pulang kerumah ketika matahari menjelang keperaduan. Pekerjaan seperti itu dijalani hingga ia meninggalkan dunia.

Sering kali orang-orang menegur perilaku Beno. Pak Din yang guru agama acapkali memeperingatkan Beno agar menjaga kewajiban-kewajiban agamanya. Yang ditegur hanya diam sambil mengangguk-aggukkan kepala. Maklum, Pak Din yang sering menjadi imam di langgar tak jauh dari rumah Beno, jarang melihat lelaki itu jama’ah ditempatnya apalagi untuk waktu siang hari.

Saat kematiannya yang tanpa tanda-tanda itu, orang-orang disekitarnya tidak begitu memeprdulikan, tak ada yang lebih dari kematian itu, kecuali besuk harus mencari buruh tani lain yang untuk menggantikan Beno. Hanya sanak famili dan beberapa orang yang pernah merasakan hasil kerjanya saja yang mau melayat. Dan Beno si buruh tani itupun berlalu begitu saja dari omongan masyarakat desa, seiring dengan jasadnya memasuki liang lahat.

Kini cerita Beno dapat didengar oleh siapa saja, dari ujung desa satu hingga ujung desa yang lain, semua orang membicarakannya. Anak-anak, pemud, bahkan orang tua “rasan-rasan” tentang buruh tani itu. Seolah-olah ia baru mati kemarin pagi. Demikian halnya dirumah Pak Komar, malam itu berkumpul lima orang. Tidak seperti biasanya setiap kali berkumpul selalu penuh canda tawa, malam ini tampak sunyi, hanya sesekali terdengar gurauan. Pak Komar duduk di kursi malas sambil menghisap rokok lintingan. Sedangkan yang lain di kursi bambu buatan Mardi becak. Di meja yang terletak di depan mereka ada beberapa cangkir kopi yang masih menyisakan panasnya. Mereka yang berkumpul hanya diam.

“Weh-weh Beno !”. Pak Komar nyeletuk dari kursi malas.

Orang-orang yang lain memandangnya. Berharap Pak Komar melanjutkan. Namun yang ditunggu hanya diam, matanya tetap lurus memandang langit, sambil berkali-kali menghisap rokok lintingan. Setelah ditunggu beberapa saat tidak juga ada terusannya, orang-orang kembali bengong.

“Tak disangka.. tak diduga”, kembali Pak Komar nyeletuk. Kembali pula orang-orang menoleh kearahnya, menunggu kelanjutan kalimat yang diucapkan Pak Komar. Kali ini Pak Komar mengucapkan sambil menarik nafas dalam-dalam. Pertanda sedang memendam kegelisahan atau pikiran yang dalam. Selesai menghembuskan nafasnya ia kembali menerawangkan pandangan matanya kearah langit. Orang-orang kembali bengong. Tapi kali ini diantara mereka ada yang tak sabar untuk mengorek keterangan dari Pak Komar. Truno yang bekerja sebagai penjaga pasar nekat berkomentar.

“Mas Komar, dari tadi kok ngomong sendiri, mbok ya kami juga diajak”.
Yang diajak bicara hanya menoleh sambil tersenyum, lantas kembali seperti semula. Tak sabar Truno kembali menyindir.

“Gumun ya gumun mas, apa dikira yang disini juga tidak gumun, mbok ajak-ajak, biar bisa gumun bareng-bareng”, seloroh Truno memancing yang lain tersenyum.

“Kalau tidak gumun ya kebangeten”, Pak Komar menjawab sindiran Truno, “Sudah diberikan pelajaran didepan mata seperti itu masak masih belum mengerti juga !”.

“Maksudnya ?”, Truno memburu pernyataan Pak Komar.

Melihat Truno dan yang lain tampak mengharap kelanjutan omongannya, Pak Komar tak tega.

“Sejak dulu orang-orang disini selalu memandang sebelah mata dengan Beno, ia buruh tani, tamatan SD impres. Orang-orang disini, tak pernah perduli dengan apa yang selama ini diberikan Beno padanya, mereka hanya menghargai dengan upah yang tak seberapa jumlahnya, tidak dari 0,1 persen dari hasil panen yang diperoleh. Padahal Beno adalah alas, adalah tempat berpijak dari keuntungan materi yang selama ini mereka dapatkan. Dan yang terpenting Beno ikhlas menjalaninya, tidak protes pada Allah, Beno sadar bila semua yang bisa di jalaninya saat itu adalah karunia Tuhan yang pantas untuknya, bahkan berdoa pun ia tak mau lama-lama”. Robbana atina fiddunya hasanah, wa fi akhiroti hasanah, waqinaa 'adzabannaar. (Kang Minto)