The Organizer Post Three

Satu Jam’iyah Seribu Hidayah, Menabuh Genderang Perjuangan
Riwayat Singkat KH. Wahab Hasbullah Jombang

Fase V : Satu Jam’iyah, Seribu Hidayah
Saat menuliskan Fase V : Satu Jam’iyah, Seribu Hidayah. Seorang teman yang ada di dekat saya berkomentar, “ O.. jadi itu Jam’iyah yang hidayah nya banyak, maka dari itu tetangga-tetangga saya yang ada nama Hidayah / Hidayat banyak yang ikut Jam’iyah itu”. Aku terkesima mendengar komentar itu, tetapi tak lama senyum melintasi bibir ini sembari berucap, “ Ada satu yang tidak ikut bung, namanya Hidayat Nur Wahid”. “ Aach..kalau yang itu memang belum mendapatkan Hidayah”, sahut teman saya sambil ngeloyor pergi.

Tetapi bukan itu inti dari Fase V : Satu Jam’iyah, Seribu Hidayah. Tema ini dimulai dari cerita tahun 1924, ketika pada tahun itu KH. Wahab Hasbullah mewacanakan urgensitas di bentuknya organisasi yang menjadi tempat bagi ulama tradisonal ala ahlussunnah wal Jamaah di tanah jawa. Sekaligus untuk melindungi kepentingan ajaran, peribadatan dan keyakinan keberagamaan ulama tradisionalis dari gempuran sekte Islam yang lain, yang menurut KH. Wahab Hasbullah semakin mengkhawatirkan.

Gagasan tersebut di sampaikan dalam berbagai kesempatan bertemu dengan Ulama-ulama yang lain, tidak saja ketika beliau bersama mereka ada didalam suatu forum musyawarah, bahkan ketika mengunjungi salah satu Ulama, beliau juga menyampaikan ide tersebut. Kerja keras dan upaya menjahit gagasan demi mewujudkan tindakan yang dilakukan KH. Wahab Hasbullah menemukan hasil yang baik. Kini sebagian besar ulama menyetujui untuk mendirikan organissi yang di maksudkan oleh KH. Wahab Hasbullah. Namun, hal itu belum cukup di gunakan sebagai modal mendirikan organisasi tempat berlabuh Ulama Tradisional. Mengapa..?(Lihat disini).

Sikap tawaddu’ dan Islah menjadi pegangan kuat para ulama’ tradisional ini, mereka enggan melakukan tindakan yang melibatkan urusan dan kepentingan ummat bila belum men shahihkan ide dan perbuatannya kepada sang guru yang linuwih, dalam konteks waktu itu adalah KH. Hasyim Asy’ari. Seorang Ulama pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, jombang. Seorang Ulama yang sepeninggal Sang Guru Kyai, Syaikhona Mohamad Kholil Bangkalan. beliau di tahbiskan untuk menempati kedudukan utama diantara para Ulama

Tidak menunggu waktu lama, KH. Wahab Hasbullah pun berkunjung ke kediaman KH. Hasyim Asy’ari. Ini pertemuan antara Guru dengan murid, sekaligus kawan dalam perjuangan Islam dan saudara seketurunan. Pada kesempatan tersebut KH. Wahab Hasbullah menyampaikan maksudnya untuk memebentuk organisasi yang bagi Ulama Tradisional, dengan tujuan sebagaimana tertulis diatas. Usai mendengar paparan dari KH. Wahab Hasbullah, KH. Hasyim Asy’ari tidak serta merta memberikan jawaban, demikin pula KH. Wahab Hasbullah, tidak bersikeras meminta jawaban saat itu juga. Keduanya saling memahami, bukan semata dengan pertimbangan akal dunia, nalar akherat pun turut serta memberikan pertimbangan. Tawaddu’ dan Ishlah kembali menjadi dasar dalam bertindak, (selengkapnya klik disini )

Setahun sepeninggal Syaikhona Mohamad Kholil Bangkalan, setelah berbagai saran dan masukan untuk mematangkan gagasan tentang Organisasi Ulama Tradisional di pertimbangkan. Ide itu di wujud nyatakan. Tepatnya hari Ahad Pon, 16 Rajab 1344 / 31 Januari 1926 terbentuklah organisasi ulama Tradisional dengan nama Nahdlatul Ulama.

Fase VI : Menabuh Genderang Perjuangan
Setelah cita-citanya membentuk organisasi ulama tradisional terwujud, KH. Wahab Hasbullah tidak lantas terpaku didalam Nahdlatul Ulama. Organisasi baru tersebut ibarat ketapel baginya, yang melontarkan beliau ke kancah pergerakan yang lebih luas. Bibit-bibit komunikasi dengan tokoh-tokoh pergerakan yang dibangun bersama Nahdlatul Wathan dan Tasywirul Afkar semakin mendapatkan alasan untuk di perkuat dalam ruang yang lebih besar. Hingga pada tahun 1930 an, beliau bertemu tangan tangan KH. Ahmad Dahlan Kebondalem ( NU), Mas Mansur ( Muhamadiyah), dan Wondoamiseno dari Sarekat Islam. Mereka adalah para penggerak di organisasi masing-masing.

Dinamika pemikiran yang terjadi diantara mereka sampai pada titik, pentingnya menyatukan perjuangan umat Islam melawan kolonial Belanda. KH. Umat Islam yang pada waktu itu terbungkai didalam organisasi-organisasi Islam, perlu untuk di ersatukan dalam satu garis perjuangan membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajahan. Akhirnya tercetus keinginan untuk membentuk sebuah perkumpulan dari organisasi-organisasi Islam yang ada di Nusantara. Maka pada tahun 1937 terbentuklah sebuah federasi dari organisasi-organisasi Islam tersebut dengan nama Majlis Islam A’la Indonesia ( MIAI). Bagi Nahdlatul Ulama, hal itu menjadi tantangan sekaligus dukungan dalam mengemban misi Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah ala Ulama’ Tradisional Jawa.

Sampai dengan awal tahun 1940 an, MIAI bergerak sangat dinamis, melakukan kaderisasi pejuang-pejuang pembebasan Nusantara dari tangan penjajah Belanda. Hingga tahun 1943, saat belanda pergi dan tentara Dai Nippon mengambul alih. MIAI di bubarkan. Sisa-sisa penggerak Miai oleh Dai Nippon di buatkan organisasi bernama Masyumi, Hadrotusysyaikh Hasyim Asy`ari ditunjuk sebagai ketua umum sedangkan KH. Wahab Chasbullah sebagai penasihat dewan pelaksananya. Sang Organizer pun terus bergerak maju, menghela lika-liku perjuangan kaum muslim Indonesia. Sampai dengan tahun 1971 tepatnya, 29 Desember 1971 Konsolidator ulung sang Organizer, di panggil pulang oleh Allah Azza wa jalla. Meninggalkan hasil kerja besar konsolidasi ulama tradisional, dan Tradisi kritis berupa kebebasan berfikir dan berpendapat di kalangan Islam Tradisional. Wallahua’lam ( Kang Min ) Posting 3 dari 3

Referensi :
  1. Saifullah Ma'shum (Editor) , "Karisma Ulama, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU", Penerbit: Yayasan Saefuddin Zuhri dan Penerbit MIZAN
  2. Pengurus Wilayah LP Ma’arif NU Jawa Timur ; Buku Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs.
  3. http://id.wikipedia.org/wiki/Wahab_Hasbullah
  4. www.republika.co.id/
  5. www.alkisah.blogspot.com